Program pendidikan militer untuk anak bermasalah yang diusulkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memicu beragam reaksi, termasuk kritik dari Anggota DPR RI, Giri Ramanda Kiemas. Menurut Giri, penting untuk mempertimbangkan hak asasi anak, aspek psikologi, dan penelitian yang mendalam sebelum melaksanakan kebijakan tersebut. Dia menyoroti bahwa kedisiplinan yang diterapkan belum tentu efektif dalam menangani perilaku menyimpang, sehingga diperlukan penelitian psikologi lebih lanjut. Selain itu, Giri juga menegaskan bahwa penjemputan paksa tanpa putusan hukum yang jelas dapat melanggar hak asasi anak, meski melalui persetujuan orang tua. Dia menekankan bahwa pendidikan karakter sebaiknya dibentuk di lingkungan sekolah dan tempat tinggal, bukan dengan cara memaksa anak-anak masuk ke barak militer tanpa dasar hukum yang kuat.
Giri juga menyoroti bahwa pendekatan militer yang dijalankan di China tidak serta-merta dapat diterapkan di Indonesia karena perbedaan budaya dan sistem lembaga yang ada. Sebagai negara demokratis, Indonesia harus tetap mengutamakan hak asasi manusia, terutama bagi anak-anak, sebelum meniru kebijakan luar negeri. Dedi Mulyadi berencana menerapkan program pendidikan militer untuk siswa bermasalah di Jawa Barat mulai 2 Mei 2025, sebagai bagian dari pendidikan karakter siswa yang akan berlangsung selama enam bulan. Rencananya, program ini akan melibatkan sekitar 30 hingga 40 barak khusus yang disiapkan oleh TNI untuk siswa yang sulit dibina atau terlibat dalam perilaku kriminal.