Siasat Menjegal Trauma Pascabencana – prabowo2024.net

Siasat Menjegal Trauma Pascabencana – prabowo2024.net

Trauma dapat terjadi pada setiap korban atau penyintas dari sebuah kejadian bencana. Namun, tidak semua penyintas akan mengalami fase ini. Palupi Budi Aristya atau Upi (21 tahun) belakangan ini merasakan was-was. Aktivitas Gunung Merapi, Jawa Tengah yang meningkat, menimbulkan kengerian mendalam baginya. Ingatan dari masa kecil tentang peristiwa besar pada 2010 silam, mudah memicu ketakutan ketika menemukan lagi momentumnya. Upi dan keluarganya harus mengungsi menyelamatkan diri dalam suasana yang panik dan mencekam, meninggalkan rumah mereka yang hancur, dalam rangkaian letusan terbesar Merapi di era modern.

Usia Upi saat itu masih kelas 3 SD. Yang paling membekas adalah kejadian saat kami disuruh mengungsi. Alhamdulillah sekeluarga aman semua. Traumanya mungkin lebih karena posisinya panik pasca letusan, mengungsi, dan takut, itu terulang lagi,” ungkap Upi.

Amukan Merapi pada 2010 silam menyebabkan kerusakan masif. Muntahan lava pijar meluluhlantakkan desa-desa di selatan lereng, sepanjang jalur Kali Gendol di Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY. Di sinilah rumah Upi berada, hancur dan diselimuti abu. Saat ini, setelah lebih dari sepuluh tahun berlalu, kenangan itu kembali menghantui. Upi telah pindah ke sebuah rumah baru di wilayah Cangkringan yang masih berjarak sekitar 10 km dari Merapi. Meskipun begitu, dia masih merasa cemas dan takut karena aktivitas gunung meningkat dalam beberapa hari terakhir, dan dia merasa panik setiap kali terdengar suara letusan. Meskipun Upi mengalami rasa panik dan takut, ia bisa menjalani keseharian dengan normal, meski kadang ketakutan muncul.

Aris (27 tahun), penyintas bencana gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, memiliki pengalaman yang jauh lebih sulit dan panjang dalam bergelut dengan trauma akibat bencana alam. Ketika tsunami, Aris juga masih kanak-kanak, masih SD. Ingatan itu jelas, tentang bagaimana ia dan keluarga harus berlari ke puncak bukit, dan menyaksikan kota tersapu gelombang tsunami. Aris dan seluruh keluarganya selamat. Namun rumah mereka yang berada tepat di bibir pantai, di Desa Lhok Kruet, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya, rata ditelan gelombang. Aris merasakan stres, karena sering melihat mayat tiap hari, dan trauma dengan laut. Sampai SMP, ia masih takut saat ada gempa. Setelah kejadian itu sering terjadi gempa-gempa susulan, membuatnya menangis.

Walaupun pengalaman trauma yang dialami Aris sulit, dengan bantuan pendampingan psikologis dari berbagai relawan dan pendamping di pemulihan pascatsunami, Aris berhasil pulih. Meski trauma masih membekas, Aris bersyukur masih tetap bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan wajar dan normal.

Trauma, penyingkatan dari Post Traumatic Stress Disorder, bisa terjadi kepada setiap korban atau penyintas dari suatu kejadian bencana. Namun, tidak semua penyintas akan mengalami fase tersebut. Kebanyakan penyintas, berkat resiliensi yang baik serta dukungan komunitas, hanya mengalami fase stres sesaat kemudian pulih kembali seiring membaiknya situasi pascabencana.

Pendampingan psikologis awal, atau dukungan psikososial, memiliki peranan penting dalam menentukan apakah seseorang akan dengan cepat beradaptasi dengan keadaan atau malah tenggelam dalam kesedihan dan perasaan sendiri.

Relawan bencana adalah pihak yang menjadi pendukung potensial untuk ‘menyelamatkan’ korban bencana yang sebelumnya tenggelam ke level trauma. Dukungan psikososial ini unik karena berbeda dengan bentuk dukungan pada umumnya yang muncul saat kejadian bencana. Relawan membantu korban bencana untuk mengelola dampak psikologis yang mereka alami akibat bencana.

Bentuk kegiatan pendampingan psikososial oleh relawan beragam, mulai dari permainan kelompok, cerita, hingga sesi ngaji bersama untuk ‘menceriakan’ kembali anak-anak terdampak bencana. Ini membantu korban bencana yang masih anak-anak untuk mengatasi dampak psikologis yang mereka alami.

Dukungan psikososial yang diberikan oleh relawan bencana juga sekaligus menjadi upaya observasi bagi para relawan. Jika ada yang mengalami gejala serius yang mengarah ke trauma, maka akan dilaporkan untuk mendapat penanganan lebih lanjut.

Dukungan psikososial yang diberikan oleh relawan bencana memiliki peranan penting dalam menolong korban bencana untuk mengelola dampak psikologis yang mereka alami. Ini harus diupayakan dari dalam lingkup komunitas, atau masyarakat yang mengalami bencana itu sendiri.

Source link