Presiden Prabowo Subianto telah mengambil langkah strategis yang berani dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara terhadap Jaksa. Menurut R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, perpres tersebut merupakan bukti serius negara dalam menciptakan sistem hukum yang adil, aman, dan tidak rentan terhadap campur tangan kekuatan non-hukum. Perpres ini dianggap sebagai landasan struktural dalam arsitektur nasional anti-korupsi.
Haidar Alwi menekankan bahwa keberanian seorang jaksa tidak dapat berdiri sendiri dan harus didukung oleh perlindungan sistemik serta kerja sama yang berkelanjutan dengan aparat hukum lainnya. Sinergi antara jaksa dan Polri dipandang sebagai kunci keberlanjutan sistem hukum pidana. Perpres ini memberikan perlindungan fisik dan juga memperkuat sinergi antara kedua lembaga tersebut.
Dalam pandangan Haidar Alwi, Perpres ini tidak hanya menegaskan perlindungan terhadap jaksa dalam bertugas tetapi juga memperkuat komunikasi dan koordinasi antara jaksa dan Polri. Pentingnya pengawasan dan keseimbangan dalam penguatan Kejaksaan juga disoroti, agar tidak terjadi dominasi tunggal dalam sistem hukum yang dapat merugikan keadilan.
Perlindungan fisik dan psikologis bagi jaksa dianggap sebagai kebutuhan mutlak, terutama mengingat tekanan dan ancaman yang sering mereka hadapi. Haidar Alwi menegaskan bahwa keberanian jaksa hanya dapat muncul jika ada jaminan dari negara, dan Perpres 66/2025 merupakan wujud nyata dari komitmen negara terhadap penegakan hukum.
Selain perlindungan fisik, Perpres ini juga mencakup aspek intelijen yang dianggap penting dalam deteksi dini ancaman terhadap jaksa. Kerja sama antara Kejaksaan, BIN, dan BAIS TNI dipandang sebagai langkah maju dalam meningkatkan sistem deteksi dini terhadap ancaman yang mungkin muncul.
Haidar Alwi memandang bahwa Perpres ini merupakan langkah tepat dalam merubah kultur hukum, di mana negara memberikan dukungan penuh pada aparat yang berani dalam menegakkan keadilan. Perpres tersebut dianggap bukan hanya sebagai perlindungan bagi jaksa tetapi juga sebagai upaya restrukturisasi kultur hukum secara keseluruhan.