Ditulis oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]
Saya sudah sering mendengar nama Jenderal Muhammad Jusuf sebelum langsung bertemu orangnya. Karena beliau adalah sahabat orang tua saya. Mungkin karena keduanya sama-sama berjiwa nasionalis dan juga sama-sama berjuang melawan Belanda. Ditambah lagi, pada saat orang tua saya menjabat Menteri Perdagangan, beliau menjadi Menteri Perindustrian.
Tapi saya baru bertemu saat beliau melakukan inspeksi ke Markas Komando Kopassus, Cijantung. Kebetulan yang ditinjau adalah kompi saya. Pada saat itu beliau baru diangkat menjadi Panglima TNI pada 1978.
Pada saat beliau masuk ke barak saya, beliau bertanya kepada saya, “Prabowo, apa kesulitan kompi kamu sekarang.” Saya jawab, “Panglima, tidak ada air di kompi saya.” Memang pada waktu itu di Cijantung sedang mengalami kesulitan air.
Beliau langsung memerintahkan Laksda TNI Rudolf Kasenda, Asisten Logistik (Aslog) TNI ketika itu. “Kasenda, buatkan pompa air untuk Kompi ini. Saya akan cek bulan depan.”
Ternyata benar, pompa dan menara air sudah tersedia sebulan kemudian. Jenderal Jusuf juga mengunjungi kompi-kompi dan batalyon-batalyon lainnya dan memberikan solusi langsung terhadap keluhan prajurit.
Beliau memang terkenal sangat peduli kepada prajurit. Bahkan dia mengecek rumah tangga sampai makanan prajurit. Dulu semua prajurit dapat susu dan kacang hijau.
Dari beliau, saya belajar pemimpin harus turun ke lapangan dan langsung memberikan solusi atas persoalan yang ada. Karena itu Jenderal Muhammad Jusuf sangat dihormati. Bahkan sampai dicium tangannya oleh anak buah. Belum ada lagi panglima seperti beliau.
Dilalahnya, sesudah kunjungan Pak Jusuf yang pertama itu, saya malah ditegur banyak senior karena melaporkan adanya kesulitan tersebut. Saya bingung karena bukankah kita dituntut untuk jujur kepada atasan. Apalagi sebagai komandan, saya harus bertanggung jawab pada anak buah. Tapi saya tenang saja.
Saya bertemu lagi dengan beliau di Timor Timur. Saat itu operasi pengejaran Presiden Fretilin, Nicolau dos Reis Lobato. Banyak batalyon yang dikerahkan ke beberapa sektor. Saya memimpin kompi yang diberikan sandi Nanggala 28. Pangkat saya ketika itu adalah Letnan Satu (Lettu). Saya salah satu komandan kompi termuda saat itu.
Sampai pada akhir Oktober 1978, kami langsung melaksanakan operasi pengejaran. Mulai di sektor Timur waktu itu di bawah pimpinan Komandan RDP 18, Kolonel Raja Kami Sembiring Meliala. Setelah beberapa minggu di sektor timur, kompi saya dipindahkan ke sektor tengah langsung di bawah Komandan Sektor Tengah, Komandan RTP 6, Letkol Inf. Sahala Rajagukguk.
Dalam beberapa hari pada Desember 1978, ketika itu saya dipimpin oleh Letkol Infanteri Sahala Rajagukguk dalam operasi pengejaran di daerah Laclubar, Fatuberliu, berakhir di sekitar Fahinehan. Setelah hampir dua minggu membaca jejak dan mengikuti, akhirnya terjadi pertempuran dengan rombongan Lobato. Pada saat itu pasukan Lobato berkekuatan hampir 200 orang dengan senjata kurang lebih 40 senjata. Pasukan yang mengepung terdiri dari Batalyon 744, 700, dan 401. Kompi saya sendiri sebagai pemukul dari lingkaran.
Alhamdulillah, pada 31 Desember, siang hari, Lobato bersama pasukannya berhasil disergap. Namun Lobato memilih bunuh diri karena tidak mau ditangkap hidup-hidup.
Mendengar kabar keberhasilan penyergapan pasukan Fretilin dan menewaskan Lobato, Jenderal Jusuf datang. Saya dijemput dengan menggunakan heli untuk menghadap beliau. Sebagai hadiah, 1 peleton pasukan saya yang menyergap itu naik pangkat luar biasa dan langsung pulang ke Jakarta hanya tiga bulan operasi. Kami naik Hercules, tidak naik kapal seperti biasanya.
Keputusan yang langsung memberi penghargaan atas prestasi anak buah di lapangan juga menjadi salah satu yang berkesan bagi saya terhadap kepemimpinan lapangan beliau.
Selain itu penampilan beliau yang sederhana, rendah hati juga sangat mengesankan saya. Saya pernah berkunjung ke rumahnya pada saat saya berpangkat kapten pada 1982. Lalu pada 1995, ketika menjadi brigadir jenderal, saya juga mengunjungi Jenderal Jusuf. Karena beliau saya anggap panutan dan mentor.
Saya mengunjungi Jenderal Jusuf ini setelah saya melakukan laporan korps kenaikan pangkat pada Panglima ABRI (Pangab), yang ketika itu dijabat Jenderal Feisal Tanjung, serta setelah mendatangi orang tua saya dan Pak Harto.
Saya mendatangi rumah beliau di Jalan Teuku Umar, Jakarta pada pukul 19.00 WIB. Pada saat saya datang, rumahnya gelap. Tidak ada penjagaan di gerbang. Setelah saya bel, pembantu keluar. Kemudian saya dibawa masuk ke ruang tamu yang juga gelap. Setelah saya masuk, baru lampu dinyalakan. “Mengapa lampu tak hidup?” tanya saya. “Lampu yang menyala saat malam hanya ruang tidur dan ruang pembantu, Pak,” pungkas pembantu tersebut.
Setelah lampu dinyalakan, saya kaget semua furniture, kursi, dan mebel yang ada di rumah tersebut sama persis dengan saya lihat waktu dulu ke rumah beliau ini pada tahun 1982. Warnanya sudah terlihat sangat belel. Bahkan kursi-kursinya dan benang-benangnya sudah mulai lepas.
Jenderal Jusuf ini pernah menjadi Menteri Perdagangan, menjadi Menteri Perindustrian selama 10 tahun, menjadi Panglima ABRI 5 tahun, Ketua BPK 5 tahun. Tapi beliau tidak mau membeli mebel baru, tidak memiliki penjagaan, dan tidak mempunyai ajudan.
Setelah beliau keluar dan menerima saya, saya langsung menyampaikan maksud kedatangan saya yaitu untuk melaporkan atas kenaikan pangkat saya mendapat bintang 1. Karena saya merasa Jenderal Jusuf yang telah ikut menggembleng dan memberikan panutan kepada saya.
Jenderal Jusuf lalu memberikan ucapan selamat dan mengingatkan saya agar menjalankan tugas dengan baik dan penuh tanggung jawab.
Dalam kesempatan itu pula, karena saya memperhatikan kondisi beliau, saya menawarkan kepada beliau pengawal dan ajudan dari Kopassus. Terhadap tawaran itu, beliau hanya menjawab akan menghubungi saya kalau dia butuh pengawalan atau ajudan. Dalam perjalanan waktu, beliau tidak pernah menelepon saya.
Saya sangat terkesan dengan Jenderal Jusuf. Beliau hidup dengan sangat sederhana. Padahal ia pernah jadi adalah salah satu orang paling berkuasa di Indonesia. Dia memegang posisi ekonomi penting. Dalam terminologi elit Indonesia, jabatan menteri yang beliau emban itu dianggap basah, dalam arti bisa mendapatkan banyak uang dengan menerima suap.
Jelas sekali bahwa Jenderal Jusuf berusaha hidup dari uang pensiunnya. Saya tidak bisa melihat ajudan, penjaga keamanan atau semacamnya. Saya sangat terharu saat itu. Air mata keluar dari mata saya. Bagaimana mungkin jenderal Indonesia yang sangat jujur dan bersih ini hidup seperti ini? Saya berkata pada diri sendiri, “Tidak heran para anak buahnya sangat mencintainya, tidak heran saya sangat mencintainya.”
Pelajaran yang saya dapatkan dari Jenderal Jusuf adalah: Sebagai seorang komandan militer Anda harus benar-benar tulus dan jujur kepada negara, anak buah dan yang terpenting, kepada diri sendiri. Jenderal Jusuf adalah seorang prajurit, seorang Jenderal, dan seorang Komandan yang tidak ingin menyusahkan mantan bawahannya dengan meminta berbagai layanan. Dia ingin mandiri dan berdiri di atas kedua kakinya sendiri.